What If



Masih ada hubungannya dengan cara  saya berdamai dengan idealisme. Yang akhirnya menuntun saya menjadi seseorang yang lebih ‘kalem’ terhadap rules yang saya gunakan dalam membersamai anak.

Beberapa hari yang lalu sempat ada sebuah pertanyaan yang terlintas di batin. Hehehe.. 

Bagaimana jika..

Bagaimana jika, ketika dewasa kelak, anak saya enggak sehebat anak teman saya? 
Bagaimana jika, dewasa kelak anak saya menjadi anak ‘biasa’ saja. Tak seperti takaran orang pada umumnya yang menilai sukses seseorang dengan pekerjaan yang berhasil ia sandang. 
Bagaimana jika, ketika dewasa kelak anak saya tak secantik seperti saat ia masih kecil yang imut-imut menggemaskan ini? Ehehe..




Bagaimana jika.. hal tersebut terjadi?

Apakah saya masih bangga membawanya bertemu dengan banyak orang? Apakah saya akan menyisipkan kisah-kisah kesehariannnya yang –menurut orang tuanya- seru ini dalam percakapan saya bersama orang dewasa lain? Atau justru saya akan menutup rapat mulut ini karena takut akan muncul pertanyaan yang akan menggali lebih dalam?

Menjadikan saya teringat pada pernyataan dulu kala.

“Anakku tuh cinta sama aku nggak peduli udah mandi atau belum. Nggak peduli cantik atau jelek. Wangi atau mambu sangit.* Ada duit atau bokek. Dia tak peduli. Dia tetap cinta, dia tetap memberi pelukan, dia tetap mengatakan, ‘aku sayang ibuk!’ dia tetap mencariku untuk meluapkan sedihnya, tangisnya, bahagianya.”

Belajar mencintai apa adanya tanpa perlu menjadi sempurna dulu dari anak yang belum ada 5 tahun.



*mambu sangit : semacam bau tak sedap yang timbul karena terpapar asap

Posting Komentar untuk "What If"