Bagaimana Saya Berdamai dengan Idealisme



Hari ini maunya mulai rutin mengisi blog. Beberapa bulan belakangan memang rada kesed untuk nge-blog. Sebenarnya bukan karena bosan nulis tapi karena ingin fokus pada satu kerjaan freelance menulisku.

Kemudian kalau ada kalimat yang kurang luwes ya mohon dimaafkan hehe..

Saya agak bingung untuk mulai menulis yang mana. Seperti biasa terlalu banyak tema yang ingin diceritakan.

Ada banyak sekali hal yang belakangan terjadi. Salah satunya tentang cara saya berdamai dengan idelisme sebagai ibu baru HAHA *yang sebenarnya pingin banget saya tulis sejak dulu.

Intinya, pada suatu titik akhirnya saya sadar bahwa membersamai anak nggak bisa saklek seperti yang tertulis ideal. Contohnya adalah tentang kebiasaan makan anak. Saya tuh ambi sekali. Saat anak baru mengenal makan sebisa mungkin saya bikin ideal. Ia harus makan dengan duduk, tidak boleh sambil jalan-jalan dan beberapa peraturan yang text book sekali hehehe. Sebentar, jangan ketawa dulu. Saya enggak menyesal sih dengan hal tersebut. Justru saya bersyukur telah membiasakan anak makan dalam posisi duduk (toh ini kebiasaan baik). Ada satu kejadian yaitu ketika saya jalan-jalan bareng anak. Jam makan siang tiba namun keadaan sekitar super duper ramai penuh sesak. Nggak mungkin banget saya gendong anak untuk jalan-jalan hanya supaya ia maem. Karena hampir selalu membiasakan makan sambil duduk Alhamdulillah anak mau makan sambil duduk tanpa cranky.

Dalam prakteknya, salah satu penyesalan terbesar saya adalah saya ini susah mengontrol emosi dan tidak sabaran :((

Dan, tanpa disadari idealisme membuat saya terlalu fokus pada SATU hal saja. Ini membuat saya kadang miss pada hal-hal kecil yang jika terus berulang dilakukan hasilnya bisa enggak baik.

Setelah mengalami naik dan turun nemenin anak akhirnya saya ubah ‘strategi’.

Masih soal makan. Seiring bertambahnya usia anak, semakin berkembang pula akalnya. Ia menjadi nggak semudah saat masih kecil untuk dibujuk.  Apalagi kalau dia sudah punya teman dan belum mau pulang, pingin tetap main di rumah teman padahal jam makan sudah tiba. Sedangkan idealnya, mungkin sebaiknya anak dibujuk baik-baik untuk pulang, maem kemudian baru main lagi. WHAHAAAAHAAA.

Akhirnya, iya saya berusaha ideal namun dalam praktiknya saya melonggarkan diri untuk tarik ulur. Yang penting tujuan saya saat itu tercapai, salah satunya ya yang penting mau makan J

Pembenaran saya, toh otak anak masih bersifat plastis. Asal enggak dilakukan terus menerus, teratur dan berulang Insya Alloh nggak menjadi kebiasaan. Tuh, jauh dari ideal bukan? HUHUHU.

Akhirnya ada sebuah kutipan manis yang saya dapat di instagram. Dan Alhamdulillah berhasil membuat penyesalan yang kadang muncul di benak saya berkurang.




Posting Komentar untuk "Bagaimana Saya Berdamai dengan Idealisme"