Isu Rasisme dan Pilih-pilih Teman



Isu rasisme yang mencuat di Amerika beberapa waktu lalu telah menyedot perhatian dunia. 

Kejadian ini bermula dari seorang kulit hitam, George Floyd yang meninggal dunia di tangan aparat. Isu rasisme pun santer menyelimuti kasus ini. Apalagi Amerika memang memiliki sejarah kelam tentang perbedaan warna kulit.

Aku tahu berita ini setelah Taylor Swift menulis cuitan di Twitter-nya. Ofkorz kemudian berujung pada kekepoanku pada kasus ini.

Peristiwa ini kemudian menggiring ingatanku pada sebuah nasehat yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak, 'kalau main nggak boleh pilih-pilih teman.'

Ketika dewasa, aku justru mendengar pernyataan sebaliknya, 'pilihlah teman mainmu karena karakter itu menular.'

Aku yang naif sempat membatin, "Nggak juga sih." Seperti pilihan sekolah, mau sekolah dimana pun, kesuksesan seorang murid tergantung dirinya sendiri. 

Sekolah di tempat bagus (fasilitas dan lingkungan sosial) atau biasa, tidak ada hubungannya dengan kesuksesan seseorang.

Setelah lebih dewasa dalam hal pola pikir, pemahaman ini sedikit bergeser. Aku setuju sekali kalau karakter itu menular. 

Berdasar pengalamanku sendiri yang pernah bersekolah di 2 tempat berbeda yaitu sekolah favorit dan biasa. Ternyata ngaruh lho. Saat aku sekolah di sekolah favorit, mau tidak mau aku terbawa arus untuk serius menyimak penjelasan guru, untuk memegang teguh nilai kejujuran. 

Aku belajar banyak dari sikap teman-temanku. Dan terbukti mayoritas dari mereka kini telah menjadi orang sukses. Tidak hanya dalam arti 'kerja di tempat bonafit' saja tapi lebih pada manfaat dirinya bagi lingkungan. Seperti menjadi founder LSM yang turut memberdayakan tempat kelahiran, menjadi pengusaha yang memiliki banyak karyawan dlsb.

Sengaruh itu lingkungan sosial dan karakter  teman-teman, apalagi bagi balita yang masih labil ya.

Selain dari orang dewasa di sekitarnya seperti orang tuanya, mereka pun 'belajar' dari teman-teman sepermainannya. 

Sisi positif dari hal ini, anakku menjadi pribadi yang lebih percaya diri karena banyak bermain dengan teman-temannya yang memiliki rasa percaya diri lebih baik. Padahal sebelumnya dia pemalu sekali, terlebih pada orang yang jarang berinteraksi dengannya. Kalau sekarang, dia sudah bisa dimintai tolong ke warung. Bisa mengutarakan apa yang diinginkan dengan baik. Ya tentu, usia, kemampuan berbahasa dan hal-hal lain berpengaruh.

Jika stimulasi yang diterima positif maka anak bisa memiliki karakter positif. Begitu juga dengan pengaruh negatif yang didapat. Duh, anak bisa cepat sekali mengadaptasinya. Ya, nggak heran ya setelah pulang dari bermain terkadang muncul kosa kata baru nan ajaib.

"Nak, kamu main sama dia aja ya!" adalah satu kalimat yang ingin sekali kubisikkan pada anakku saat melihatnya bermain.

Menurutku teman mainnya saat itu  memberi pengaruh yang tidak sesuai dengan prinsipku. 


Tapi kalimat tersebut urung aku ucapkan. Menurutku memang sebaiknya tidak diucapkan pada anak kecil apalagi secara gamblang. Dia yang masih polos bisa saja salah tangkap hingga menimbulkan persepsi yang keliru.

Hal lain yang membuatku urung adalah aku menghormati privasinya. Walau dia masih bayi 🤡

Sebagai ibu aku belajar tidak terlalu jauh mencampuri urusan pribadi anak. Dia main dengan siapa bukankah dirinya yang bermain, ia yang menikmatinya, bukan aku.

Tapi rasanya kurang tepat ya membiarkan anak kecil bermain sesukanya tanpa memberi arahan.

Orang tua tetap harus ikut campur dalam artian mengarahkan. Nggak setuju kalau ortu bikin keputusan saklek yang harus dituruti si anak. Harus nego tarik ulur menggunakan bahasa yang tepat. Menyesuaikan logika anak. Nah, mumet kan jadi orang tua? 😝


Balik pada isu rasisme tadi. Bisa jadi maksud dari kalimat, 'kalau main nggak boleh pilih-pilih,' itu maksudnya kita nggak boleh rasis, maunya berteman dengan yang segolongan, satu suku, satu agama, satu warna kulit, satu warna rambut dlsb. Karena kepercayaan merupakan wilayah pribadi seseorang yang mau didebatkan sampai kapan pun juga nggak akan ketemu siapa yang menang. Kalau warna kulit, ya memang takdirnya begitu. Takdir yang Kuasa, mosok ditentang.

Menurutku kurang tepat ketika orang dewasa memberi nasehat tanpa penjelasan lebih lanjut contohnha ya seperti kalimat 'tidak boleh pilih-pilih teman'.

Tapi kalau pilih-pilih teman bergaul seperti teman kaya, teman yang pinter, boleh nggak?

Kok menurutku sah-sah aja ya karena hal-hal semacam itu (kaya, pintar) butuh perjuangan seseorang. Kalau temanan sama mereka-mereka ini memungkinkan sekali bagi kita untuk tahu prinsip hidup mereka, pola pikir, kebiasaan dlsb. 

Ingat kan peribahasa lama yang berbunyi, kalau temenan sama tukang parfum bakal ikutan wangi. Dan pepatah Jawa yang berbunyi, ojo cedak kebo gupak. Jangan dekat-dekat kerbau nanti kena lumpur kotor.

Dari curhatan ini aku sadar 1 hal, ternyata saat itu karakterku belum matang. Aku masih labil huhu.

Posting Komentar untuk "Isu Rasisme dan Pilih-pilih Teman"