Sebagai Ibu, Ini Perasaanku Setelah Menonton The World of the Married

The World of the Marriage
Sumber gambar official Instagram JTBC

Kali ini aku coba mau ngomongin drakor The World of the Married, mumpung lagi anget-angetnya. Tapi dari kacamataku sebagai seorang ibu ya..

Ada beberapa orang yang mengaku, dirinya heran pada orang-orang yang ketagihan menonton drama Korea alias drakor. Kadang-kadang sebagian dari mereka secara tidak langsung menganggap dirinya 'hebat' karena memiliki pertahanan yang kuat.

Tapi setelah diusut, ternyata mereka memang belum pernah nonton satupun judul drama Korea. Hehehe..

Akupun salah satu orang yang kepincut sama drakor. Tapi nggak terlalu maniak sehingga tahunya ya Full House :(

Saat itu aku nggak mengikuti perkembangan drama karena.. takut ketagihan hiks benar-benar takut ketagihan..

Nah, belum lama ini di jagad dunia maya geger dengan drama tentang orang ketiga berjudul The World of the Married.

Kabarnya rating drama ini memecahkan rekor di jagad per-tivi-kabel-an Korea alias jadi favorit banget.

Tidak menonton secara khusuk membuatku kurang menjiwai alur drama ini. Sempat sih ketagihan, di episode pertengahan, tapi cuma sebentar. Setelahnya, ya skip skip.

Btw, tapi ada juga sih yang kekeuh nggak suka meski udah nonton drakor. Alasannya, kisah-kisah di drama Korea terlalu fairy tale, too good to be true.

Nah, balik ke topik, The World of the Married bercerita tentang sebuah keluarga yang dari luar tampak ideal. Sang istri memiliki karir moncer sebagai direktur muda rumah sakit. Suaminya seorang pengusaha yang ternyata punya pacar cantik. Mereka memiliki satu anak usia remaja.

Sebagai seorang ibu, aku relate sekali dengan beberapa hal yang dirasakan Sun Wo, sang pemeran utama, diantaranya :

Kehidupan Seimbang Seorang Ibu, Teori dan Realita


Sulitnya menjadi perempuan yang memiliki kehidupan balance. Terlebih jika ia berperan sebagai ibu bekerja setelah memiliki anak. Akan sangat menantang baginya untuk membagi waktu antara karir dan anak.

Walau rumus lama berbunyi, 'yang penting kualitas dibanding kuantitas,' tapi ya susah sekali merealisasikannya. Apalagi kalau badan capek sepulang kerja saat anak lagi caper. Atau ada case di tempat kerja yang begitu menyita sehingga terbawa ke rumah. Hal ini berlaku sebaliknya, di tempat kerja kepikiran anak yang lagi rewel.

Ketakutan ini yang kadang menghalangi keinginanku untuk  kembali bekerja di luar rumah, ikut orang. 

Jadi ya untuk membunuh bosan aku memilih bekerja dari rumah. Harapannya sih, saat anak membutuhkan sosok ibu di momen-momen istimewanya, aku bisa meluangkan waktu gitu lho.

Takut jadi working mom tapi lucunya aku suka iri pada 'kebebasan' yang seolah didapat para working mom. Mereka sepertinya memiliki me time (ya di tempat kerja) sehingga saat bersama anak bisa lebih mindfull.

Kalau freelance sepertiku dengan jam kerja nyaris kayak ATM yang buka 24 jam, sering sekali aku merasa ragaku di sini tapi tidak jiwaku.

Apalagi kalau ada job yang mesti dikerjakan di luar jam kerja pada umumnya, sore hari di jam santai harus live tweet. Otomatis anak tersisihkan sejenak. Hiks.

Pernah nyaris aku melamar kerja tapi balik badan ke titik awal. Ragu bisa ga menjalaninya dengan seimbang tanpa membuat siapapun merasa dikorbankan.

Satu adegan yang paling nyes adalah saat Sun Wo membawa lari anaknya usai dirinya berdebat dengan sang suami. Siapa yang menyangka ternyata si anak justru menolak keputusan Sun Wo agar mereka hidup berdua saja tanpa ayah yang berkhianat itu.

"Ayah tidak meninggalkan kita. Ayah meninggalkan ibu."

Yang dikhianati kan ibu, yang terluka kan ibu, bukan aku :( :( :(

Di sini perbedaan persepsi antara anak-anak dan orang dewasa benar-benar diadu lah ya.

Dalam pikiran ibunya, ia bekerja ekstra keras agar anaknya bisa mendapat fasilitas terbaik. 

Tapi bagi anaknya, ayah adalah sosok favorit karena selalu hadir di momen penting sang anak. Ingat kan kalau ayahnya yang selalu datang menyemangati pertandingan si anak di sekolah?

Pengaruhnya dalam dunia nyata, pengen punya lebih banyak waktu berkualitas untuk anak.

Uang dan Kedekatan Emosi


Selanjutnya, di The World of the Married aku semakin sadar betapa pentingnya cara berkomunikasi.

Semacam ancang-ancang apa saja yang sebaiknya dipersiapkan ketika kita punya anak atau saat memiliki anak jelang remaja dimana konfliknya sudah lebih dari sekedar susu dan popok.

Berkomunikasi melalui pendekatan emosi, diskusi dan mendengar pendapat anak yang sebenarnya bisa dilatih sejak dia masih balita.


Setelah anak dewasa, nggak mungkin banget kita bisa mendikte dia sesuai kehendak agar dia nurut perintah. Nggak bisa lah dengan alasan, 'aku kan ibu yang melahirkan kamu, kamu harus patuh kalau nggak durhaka kamu.'

Anak tuh ga bisa digituin. Terlebih kodrat ibu ya memang melahirkan anak. Rasanya mengkambinghitamkan kodrat agar anak nurut, itu nggak adil menurutku. Meski alasan di baliknya lebih sering demi kebaikan si anak sih. 

Ada banyak cara agar anak mau dengan suka rela melakukan apa yang orang tua perintahkan.

Nah, teknik komunikasi agar saling memahami ini yang harus orang tua pelajari dan siapkan.

Semakin suka karena The World of the Married menghadirkan cuplikan sesi konsultasi psikologi tentang kejiwaan anak sehingga aku bisa menemukan banyak insight.

Sebenarnya berat untuk mengatakan, tapi anak ya anak. Dia adalah manusia dengan jiwanya, dia bukan milik kita sepenuhnya, kita cuma sebagai perantara menghadirkannya ke dunia, berusaha menjadikannya sosok sesuai harapan. Nggak selamanya mereka bisa ada dalam pengawasan kita, dalam genggaman kita. Balik lagi, gimana sih kalau diri kita yang disetir-setir.

Maka, aku berniat menciptakan momen manis bersamanya. Agar meskipun kelak mungkin saja aku jauh darinya, aku tetap ada di hatinya. 

Pada akhirnya, drama ini memang punya banyak sekali nilai moral. Menjadikan seseorang belajar dari kisah yang familiar terjadi. Semua karakter cuma manusia biasa yang punya kelebihan, kekurangan dan pernah melakukan kesalahan.

Drama toxic? Mungkin tergantung sudut pandang dan latar belakang masing-masing orang ya.. Yadah next aku pingin nonton Itaewon Class, Hi Bye Mama atau Back to Couple.

Posting Komentar untuk "Sebagai Ibu, Ini Perasaanku Setelah Menonton The World of the Married"