Idealisme Seorang Ibu dan Limitnya dalam Mendidik Anak Usia Dini



Sebelum melahirkan,  saya beranggapan bahwa ibu yang menghabiskan lebih banyak waktu bersama buah hati adalah contoh ibu yang baik. Karena ia mau menukar kebebasan yang didapat saat bekerja untuk membersamai anak. Istilahnya rela berkorban gitu lho.. Atas dasar anggapan itu maka pada usia kehamilan 7 bulan saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan.

Seiring berjalannya waktu, pemahaman ini pun mengalami pergeseran. Alasannya, karakter dan kebutuhan batin setiap ibu ternyata tidak sama.

Saya sadar bahwa ibu yang baik tidak bisa dilihat dari panjang pendeknya waktu yang ia luangkan bersama buah hati.

Seperti saya dan anak, 24 jam bersatu dalam rutinitas yang hampir sama ; tidur, jalan-jalan, makan, tidur lagi. Berada di ruangan yang sama tapi kenyataannya, saya dan anak asyik dengan kegiatan masing-masing. Saya sibuk beberes rumah sedangkan anak asyik menonton televisi.

Lebih parahnya, ketika akhirnya saya resmi menjadi seorang freelance. Fyi, impian saya  bisa tetap menghasilkan meskipun hanya di rumah. 

Sering sekali saya khusyuk di depan laptop mengerjakan deadline demi deadline. Meski raga anak berada dalam radar pengawasan, namun pikirannya fokus pada gawai.

Di sinilah gejolak kembali muncul. Terutama saat melihat si kecil selalu uring-uringan setiap saya ambil alih gadget-nya.

Sadar Akan Limit

Sebagai ibu saya selalu berusaha memberi yang terbaik bagi anak. Yah, seperti memastikannya untuk selalu gosok gigi sebelum tidur. Membelikan mainan yang diinginkan anak. Berusaha membuatnya bahagia dengan mengajaknya jalan-jalan ke tempat rekreasi. Semacam itu.

Namun itu tidak cukup karena sehari-hari saya tetap larut dalam pekerjaan. Pekerjaan yang mampu menghapus dahaga bosan setelah sebagian besar waktu saya habiskan berkutat di rumah. Kebutuhan batin yang bila tidak terpenuhi membuat emosi menjadi labil. Namun jujur, di saat yang sama melihatnya semakin kecanduan pada animasi-animasi menggemaskan di YouTube praktis membuat saya gamang.

Keputusan besar sependek 3 tahun mengasuh anak pun akhirnya saya ambil. Keputusan yang sebenarnya telah saya pikirkan sejak lama. Keputusan itu adalah menyekolahkan anak di sebuah preschool.

Alternatif kegiatan anak. Selain mengenal warna, anak pun terbiasa duduk teratur dan berbagi dengan teman. Mengajarkan disiplin dengan cara yang menyenangkan.

Anak saya menjadi nyaman saat berbaur dengan kawan-kawannya.


Mengapa Harus Preschool? Kenapa Tidak Menitipkan pada Nenek atau Mencari Pengasuh?

Hal ini nggak menyimpang dari sifat idealis saya yang masih tidak bisa menerima perbedaan yang bersifat prinsipil terkait pola pengasuhan anak antara saya versus neneknya.

Alasan lain, masing-masing neneknya masih memiliki aktivitas rutin.

Sedangkan alasan saya tidak mencari pengasuh anak karena -maaf- hampir semua pengasuh di sekitar tempat tinggal saya tidak memiliki kemampuan pengasuhan sesuai dengan kriteria yang saya tetapkan.

Pentingnya Peran Orangtua dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Memiliki anak menjadi semacam pembelajaran buat saya. Saya harus bertanggung jawab dengan segala konsekuensi mengasuh anak disertai sifat idealis yang saya miliki.

Lamanya merealisasikan rencana tersebut tak lain karena saya tidak ingin gegabah. Saya mencari banyak referensi. Saya mempertimbangkan segalanya, termasuk dengan segala efek yang sering mampir di telinga terkait menyekolahkan anak sebelum usia 7 tahun. Namun menurut saya, tidak ada ibu ideal. Segala keputusan diambil berdasar kebutuhan anak.

Saya nyaman dengan keputusan saya, Alhamdulillah. Dan setiap perkembangannya bisa saya pantau dengan jalinan komunikasi antara saya dan gurunya berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ya, tidak ada ibu ideal. Tapi saya yakin, setiap keputusan yang diambil seorang ibu adalah berdasarkan keputusan terbaik terkait keadaan.

Itulah peran keluarga dalam pendidikan anak usia dini berdasar pengalaman saya.

#appletreebsd

Artikel ini diikutsertakan dalam blog competition yang diadakan oleh Apple Tree Pre-School BSD.

14 komentar untuk "Idealisme Seorang Ibu dan Limitnya dalam Mendidik Anak Usia Dini"

Comment Author Avatar
Soal ngedidik anak emang Kita harus semangat berstandar tapi tidak kejam pada diri sendiri. Biar kitanya tetep waras. Wkwkwk.
Comment Author Avatar
Idealis tapi sadar sama konsekuensi ya mba ♥
Comment Author Avatar
Betul ya mbak... Memang segala keputusan ada konsekuensinya. Pada akhirnya kita memang harus menyesuaikan dengan kondisi diri sendiri dan enggak bisa ikut-ikutan dengan cara orang lain. Tidak ada ibu yang sempurna, yang ada ibu yang selalu berusaha untuk jadi yang terbaik dalam versinya. Semoga keputusan apapun yang diambil dapat berbuah manis untuk si kecil ya mbak... :)
Comment Author Avatar
Tidak ada ibu yang sempurna di dunia ini. Bener, mbak. Semakin hari malah merasa makin tak ideal. Sepertinya ibu pun perlu sekolah kepribadian. Eh.
Comment Author Avatar
Sekolah terus pokoknya ya mba
Comment Author Avatar
Mau sekolah paud atau pakai asisten atau dirawat sendiri, apapun itu merupakan keputusan yg membuat ibu dan anak bahagia
Comment Author Avatar
Kadang saya iri sama ibu lain yang ideal di mata saya. Tapi ya udah, Insya Alloh ini keputusan yang paling sesuai dgn kondisi saya
Comment Author Avatar
Ya memang orangtua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya ya bun. Penting mengetahui kesamaan visi ortu, guru, dan lingkungan utk perkembangan anak. Nggak lupa kembali berkiblat ke Nabi Saw.

Cuma prakteknya yaa yg kadang belom sesuai impian😅
Comment Author Avatar
Prakteknya tuh susah bgt mba
Comment Author Avatar
Apa yang mba lakukan saat ini, itulah yang terbaik. Merasa belum sempurna, berarti makin gencar usaha menjadi lebih baik lagi. Semangat terus mba....
Comment Author Avatar
Iya mba semoga ga pudar semangatnya membersamai anak..
Comment Author Avatar
Setuju mba, there is no perfect mom. Setiap ortu punya pertimbangan sendiri dalam menentukan keputusan bagi buah hatinya. Jangan semua komentar orang diambil ati, nanti kasian atinya abis 😊

semangattt!